Senja
di Padang Rumput
Hangatnya
sinar mentari pagi masuk melalui celah jendela kamar. Suara ketukan pintu
sedari tadi belum berhenti. Rasa kantuk masih menjalar dalam tubuhku. Berkali-kali
ibuku membangunkanku. Dengan rasa malas dan enggan akhirnya aku bangun dari
tempat tidurku.
“
Ia ma aku bangun…”, sahutku pelan.
Setelah melihat jam menunjukan
pukul 06.15 aku tercengang dan segera bergegas untuk sholat dan mandi. Terlihat
adik kecil Alice yang sedang makan
dengan nasi yang berceceran dimana-mana.
“ Ma… aku berangkat ya? “,
teriak Alice.
Dengan cepat Ia menyambar sepeda
butut kesayangannya itu dan pergi. Sebelum pergi ke kampus, ia ke tempat biasa
mengambil koran dan mengantarkannya ke setiap rumah.Ia memberikan uang hasil
mengantar koran pada bang Rojak, karena ia sudah bekerja keras Alice mendapat
uang tambahan dari bang Rojak. Ucapan terimakasih tak lupa Alice ucapkan.
“Ya, besok kerjanya yang bagus
ya?”, ucap bang Rojak.
“ Ok Bang”, ( pergi menggayuh
sepeda dan mengangkat tangan sebagai isyarat mengiyakan).
Tanpa kenal lelah Ia terus
menggayuh sepedanya agar sampai di kampus. Sesampainya di kelas ia langsung di
sambut dengan hukuman oleh Pak Ari dosennya. Walaupun Ia terkadang suka
terlambat, ia dikenal sebagai murid yang
teladan di kampusnya dan mendapat beasiswa.
Setelah selesai kuliah Ia
biasanya kerja part time di sebuah restoran, sebagai pengantar makanan hingga
hari petang. Maklumlah dia bekerja seperti ini sebagai tulang punggung
keluarganya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia duduk di kelas 3 SD karena
penyakit lupus yang di deritanya. Parasnya yang manis, ceria, pekerja keras dan
sedikit tomboy, tidak sedikit orang yang menganguminya.
Rery
meledek Alice karena kebiasaanya yang selalu datang terlambat kuliah, namun
Alice menanggapinya dengan santai. Rery juga menawarkan Alice satu bungkus nasi
rames, sebab ia tahu pastinya Alice belum sarapan.
“Tau aja kamu Rer,” ( menyenggol bahu Rery dengan bahunya).
Rery hanya tersenyum.
“Antar tuh pesanan, alamatnya di
Jl. Kenanga, no. 3, Asri house”, ucap Rery.
“Oke “, sahut Alice sambil
makan.
Alice sampai ke alamat yang ia
tuju, ternyata jaraknya memang tidak jauh dari restoran tempat ia bekerja. Terdengar
suara orang terjatuh. Ternyata pemilik rumah yang memesan makanan tertimpa pot bunga
dan mengenai kakinya. Alice segera menolong Ibu tersebut dan mengobati lukanya
dengan daun.
“ Ini yang ayah saya lakukan
ketika saya jatuh”, ucap Alice. ( ibu itu hanya tersenyum )
“Terimakasih nak”, ucap ibu
tersebut.
Alice membungkukan badan. Ia
bertanya untuk memastikan apakah benar ibu tersebut yang memesan makanan di restauran
tempat dia bekerja. Setelah mendapat kepastian yang pasti, Alice memberikan
pesananya dan menerima uang hasil dari ia mengantar pesanan.
Waktu menunjukan pukul 17.00, ia
selalu meluangkan waktunya untuk mengunjungi sebuah padang rumput yang tidak
jauh dari desanya. Di sanalah ia dulu sering bercanda bersama ayahnya. Ia juga
menuliskan segala keinginanya di batu besar tersebut.
Terlihat seorang laki-laki
menduduki batu besar tersebut.
“ Hei minggir!”, ( dengan kasar
ia mendorong laki-laki tersebut sampai jatuh).
“Santai dong, bajuku kan jadi
kotor, ucap laki-laki tersebut.
“Siapa suruh kamu duduk di situ!”,
ucap Alice dengan sewotnya.
“Ini kan tempat umum kenapa kamu
yang sewot?”, ucap laki-laki tersebut.
Tanpa menghiraukan apa yang dia
ucapkan, Alice langsung membersihkan batu tersebut. Tanpa sengaja pemuda
tersebut melihat sebuah tulisan.
“Kenangan bersama ayahku”
Aku berjanji pada ayah aku akan menjadi dokter,
dokter yang bisa mengobati rasa sakit yang ayah
rasakan,
aku tidak mau orang lain merasakan rasa sakit
seperti yamg ayah rasakan
“Aku sayang Ayah”
“Hei
kamu! tidak ada yang boleh duduk di batu
ini! pergi! ”, bentak alice (sontak pemuda tersebut terbangun dari lamunanya).
“Dasar gadis aneh,”, ucap
laki-laki tersebut.
Di rumah yang sederhana…
“Ma aku pulang”, ucap Alice.
Alice memberikan semua uang
hasil kerjanya pada ibunya, ibunya merasa tersentuh karena mempunyai anak yang
pekerja keras seperti Alice, mereka berpelukan.
Keesokan paginya, hal yang sama
selalu terjadi, ia terlambat masuk kelas. Namun kali ini ia tidak mendapat
hukuman. Pak Sandy membawa anak baru, ternyata dia adalah Hendy, laki-laki yang
bertemu Alice sewaktu di padang rumput. Seisi ruangan yang hening berubah menjadi ramai, terutama para wanita
yang terpesona dengan ketampanan Hendy.
“ Perkenalkan
nama saya Hendy”, ucap Hendy.
Pak Sandy
menyuruh Hendy duduk di sebelah Alice. Alice yang dari tadi asik mengerjakan
soal, sontak kaget dengan kedatangan Hendy.
“ Kamu?”,
ucap Alice tercengang.
“ Hey”,
ucap Hendy dengan kaku.
Sepulang
mengantar makanan. Rasa bahagia tengah menyelimuti Alice, ia bersepeda menuju
padang rumput, tiba-tiba doooor ban sepeda Alice kempes, ia hilang keseimbangan
dan terjatuh ke parit.
“Kamu
tidak apa-apa gadis senja?”, ucap Hendy mencemaskannya.
Hendy
langsung mendekati Alice dan mengobati luka Alice dengan daun.
“ Ini
sudah aku obati”, ucap Hendy.
Alice teringat
ketika ayahnya dulu mengobatinya, dan tanpa sadar Alice mulai menaruh rasa suka
dengan Hendy.
“ Hei…”,
ucap Hendy (melambaikan tangannya di depan muka Alice).
“Minggir!”,
ucap Alice kasar (ucapannya berlainan dengan kata hatinya).
Alice
berniat pergi, namun ia terjatuh kembali. Hendy kembali mendekati Alice
memberikan punggungnya, tapi Alice masih
sok cuek dengan tawaran Hendy. Dengan terpaksa, Alice akhirnya mengiyakan. Hendy
menggendong Alice sampai mobil dan mengantarnya sampai rumah, sepeda bututnya
ditaruh di belakang mobil. Di dalam mobil Alice tertidur, tanpa sengaja Hendy
memandangi wajah Alice. Dalam hatinya ia berkata, Alice kamu manis juga ya
kalau lagi diam begini. Tiba-tiba Alice terbangun sontak raut muka Hendy
terlihat gugup.
“Sudah
sampai ya?”, ucap Alice.
“Sudah
sana cepat turun”, ucap Hendy mengalihkan pembicaraan.
Alice
turun dari mobil, dan Hendy menurunkan sepedanya.
“Terimakasih”,
ucap Alice dan membungkukan badannya.
Hendy
pergi meninggalkan Alice tanpa berbicra sepatah katapun.
Malam
sunyi, di dalam kamar masing-masing Alice dan Hendy saling memikirkan satu sama
lain, dalam hati mereka sudah mulai
tumbuh benih-benih cinta.
Mentari
pagi seakan keluar dari peraduannya, masih dengan rutinitas yang sama sepulang
kuliah Alice mengantar makanan ke alamat yang sama. Namun kali ini Alice
mengantar pesanan dengan berjalan kaki. Tak disangka alamat rumah yang menjadi
langganan restaurant tempat Alice bekerja adalah rumah Hendy. Keduanya kaget
memandang satu sama lain.
“Kamu?”,ucap
keduanya.
Ibu Hendy
memberikan uang pada Alice, Alice menanyakan bagaimana keadaan ibu Hendy.
“Siang
tante, bagaimana keadaan kaki tante?”, Tanya Alice.
“Sudah baikan
ko, ini juga berkat bantuanmu nak”, ucap ibu Hendy dengan senyuman.
Alice
berpamitan meninggalkan tempat. Siang berganti menjadi sore, Ia mengunjungi padang
rumput. Tanpa sepengetahuan Alice Hendy mengikutinya.
Alice
bercerita tentang perasaannya, Ia sudah menemukan orang yang ia sukai, dan Hendy
mengingatkanya pada sosok ayahnya, ukiran tulisan itu akan selau menjadi motivasinya, dan ia sangat merindukan akan
kehadiran ayahnya, air matanya menetes tanpa henti. Hendy yang melihatnya mulai
mendekati Alice, tanpa kata apapun Alice memeluk Hendy, air matanya kembali
menetes.
Alice
menceritakan semua yang terjadi dengan ayahnya, karena penyakit lupuslah yang
telah merenggut nyawa ayahnya. Perasaan Alice sudah mulai membaik. Hendy
menatap Alice tajam. Rasa gugup terlihat jelas di muka Alice. Hembusan angin
dan matahari terbenam menambah heningnya suasana.
“Ke..,
kenapa?, jangan memandangku seperti itu”, ucap Alice terbata-bata.
“Alice,
sejak pertama bertemu denganmu aku sudah mulai menyukaimu, dan sekarang aku yakin
dengan perasaan itu”, ucap Hendy .
Alice
hanya terdiam.
“Alice,
aku benar-benar mencintaimu, maukah kau menjadi pacarku?”, ucap Hendy (memegang
tangan Alice).
Alice
menganggukan kepala.
“ Ya, aku
mau”, ucap Alice.
“Benar?,
terimakasih”, ucap Hendy (bersorak dan memeluk Alice).
Rajutan
cinta Alice dan Hendy semakin melekat saja, sudah berjalan selama 3 bulan.
Suatu hari Hendy menyuruh Alice datang menemuinya di padang rumput, Hendy ingin
memberikan kejutan pada Alice. Dengan
mata tertutup Alice berjalan menyusuri padang rumput yang telah dihias dengan
lilin berbentuk love, dan meja makan yang telah ditata sedemikian rupa.
Terbenamnya matahari menambah lengkapnya suasana.
“Sekarang
kamu bisa buka matamu?”, ucap Hendy.
Alice
hanya bisa terdiam, betapa bahagianya dirinya. Hendy berlutut di depan Alice
dan memberikan cincin.
“Will you
Marrie me?”, ucap Hendy.
“Ya”, ucap
Alice dengan senyuman di bibirnya.
Suatu sore
Alice ingin memberitahu Hendy kabar gembira, bahwa Alice mendapat beasiswa
kuliah diluar negeri. Namun keanehan- keanehan mulai terjadi dengan Hendy.
“Sayang
aku dapat beasiswa keluar negeri”, ucap Alice dengan senangnya.
“Selamat
gadis senjaku”, ucap Hendy.
Alice
memeluk Hendy. Tanpa sengaja Alice memegang rambut Hendy.
“Rambut
kamu kenapa rontok dan mukamu terlihat pucat, ada goresan merah dipipimu?”,
ucap Alice.
“Mungkin
sekarang aku terlalu banyak aktivitas dengan bandku, jadi terlalu lelah”, ucap
Hendy.
“Aku ambilkan
makanan dulu ya”, ucap Hendy.
Ketika
berjalan, Hendy tiba-tiba merasakan pusing, suara di sekelilingnya mulai hilang,
dan pandanganya mulai buram. Hendy jatuh pingsan.
“ Hendy!”,
teriak Alice.
Setelah
siuman Alice mengantar Hendy pulang.
Keesokan
harinya, Hendy dengan ibunya pergi ke dokter, memeriksa sebenarnya apa yang
terjadi dengan dirinya. Dokter terlihat sedih, ternyata Hendy terserang
penyakit lupus, penyakit yang sama seperti ayah Alice sehingga merenggut nyawa
ayah Alice. Ibu Hendy yang mendengarnya, sekujur tubuhnya menjadi lemas tak
berdaya dan terjatuh. Namun Hendy berusaha tegar dan menerima kenyataan yang
pahit ini.
“Lalu saya
harus bagaimana dok, apa harus operasi?”, ucap Hendy.
Dokter
berkata kalau di operasi kemungkinan selamat hanya sedikit, karena akan
membahayakan nyawanya.
“Tapi jika
itu keputusanya, maka kami akan melakukan yang terbaik”, ucap Dokter.
Betapa
terpukulnya Hendy mendengarnya, bagaimana dengan Alice kalau dia tahu, Hendy
tidak bisa melihat Alice untuk yang kedua kalinya kehilangan orang yang
dicintainya karena penyakit yang sama. Hendy perlahan mulai menjauhi Alice,
tidak pernah ke kampus dan tidak pernah menjawab teleponnya.
Setelah
menyiapkan mental dan fisiknya yang memang mulai memburuk, Hendy berniat
memutuskan Alice dengan melakukan sandiwara, membawa gadis bayaran sebagai
kekasihnya, supaya Alice menjauhiya. Namun tetap saja tidak berhasil.
Keadaan
Hendy semakin parah saja, apalagi sekarang kepalanya sudah mulai botak,
tubuhnya kurus, dan garis merah dikulitnya mulai menyebar ke tubuhnya.
Dalam hati
Alice tersimpan rasa curiga, apa yang membuat Hendy seperti itu, akhirnya ia
memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudah berapa banyak
tempat yang di cari Alice dan orang-orang yang dia tanyakan, namun tetap saja
tidak ada yang mengerti. Hingga terfikir olehnya untuk pergi kerumah Hendy.
Rumahnya
terlihat sepi, hanya ada pembantu yang sedang menyapu di depan rumahnya. Alice bertanya
pada bibi apakah Hendy ada dirumah, namun bibi tersebut tidak mau
mengatakannya, setelah Alice memohon, akhirnya bibi tersebut memberitahu bahwa
Hendy di rawat dirumah sakit karena terserang lupus.
Betapa
kagetnya Alice mendengar berita tersebut, Alice terjatuh, sekujur tubuhnya
lemas tak berdaya seakan pingsan.
“Non? non
tidak apa-apa”, tanya bibi.
Alice
hanya terdiam lemas, berusaha bangun dari keterpurukan, dengan perasaan yang
kacau, ia meninggalkan rumah Hendy dan menuju rumah sakit.
“Kamu
jahat!”, teriak Alice (menggoyangkan tubuh Hendy).
“Kenapa
tidak bilang!, kamu tahu betapa menderitanya aku, kenapa?”, teriak Alice
(keluarlah air matanya bercucuran).
“Seharusnya
kamu jujur, setidaknya kamu bisa berbagi rasa sakit denganku, seharusnya aku
ada di sampingmu menemanimu, menjagamu, seharus…”, ucap Alice.
Kata-katanya terhenti ketika Hendy menaruh
jari telunjuknya ke bibir Alice dan memeluknya.
“Aku tidak
sanggup mengatakanya padamu, aku tidak ingin kamu bersedih karena aku, aku
tidak mau nanti akhirnya kamu akan terluka”,
ucap Hendy.
Alice
hanya bisa menangis dalam pelukan Hendy.
Besok
adalah hari dimana Hendy akan di operasi, dan tiba saatnya. Suasana hening
menyelimuti hari itu, rintikan hujan seakan merasakannya. Alice, keluarga Alice
dan Hendy, teman Hendy, semua orang yang menyayangi Hendy hadir disana. Perasaan
cemas, takut, tegang bercampur menjadi satu. Mereka berdoa bersama mendoakan
keselamatan Hendy.
Namun
operasi tidak berjalan dengan baik, suatu gangguan sempat terjadi, saat
detik-detik terakhir Hendy meminta pada dokter agar Alice menemuinya.
“Alice,
maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu lagi, menjagamu, aku hanya bisa menjagamu
dari jauh, aku akan selalu merindukanmu dan menyayangimu”, ucap Hendy pelan.
Air mata
Alice tak terbendung lagi.
“Kamu
harus janji, kamu harus mengejar cita-citamu itu, kamu pasti bisa gadis
senjaku”, ucap Hendy.
Menggegam
tangan Alice dan menghembuskan nafas terakhirnya.
“Tidak…!
Hendy bangun!”, teriak Alice.
Takdir
dari yang Maha Kuasalah yang memisahkan mereka di dunia, namun rasa cinta kasih mereka takkan pernah sirna oleh putaran
roda dunia.
Beberpa
minggu kemudian.
Kenangan indah bersamamu akan menjadi
kenangan indah yang selalu ada dalam hatiku, senyummu kan menjadi obat
penghilang luka dalam hatiku. Sebutan gadis senjaku takkan pernah terdengar
lagi, namun kenangan indah itu kan menghiasi hidupku.
Alice mengukir
kata-kata itu dalam batu besar di waktu senja di padang rumput. Kini Alice
telah pergi ke luar negeri meraih
cita-citanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar